Setelah Litbang Kompas merilis hasil survei terbaru 2019, kubu petahana kalang kabut. Apalagi survei itu dibuat sebelum peristiwa OTT KPK terhadap Ketum PPP Romahurmuzy (Romi) yang tak lain teman karib Jokowi. Tentu bisa diprediksi dengan kasus korupsi Romi elektabilitas Jokowi kian terbenam.
Berikut ulasan Djadjang Nurjaman, Pengamat media dan ruang publik yang disadur dari laman Rmol.co, Senin (18/3/2019).
Erick Thohir Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Maruf membuat pernyataan yang aneh. Survei tidak penting. Yang lebih penting adalah gerakan massif di daerah.
Apa nggak salah nih Pak Erick. Bukannya publikasi survei selama ini menjadi andalan utama Jokowi? Sampai ada julukan Jokowi adalah Presiden Republik Survei Indonesia.
SMRC dan LSI Denny JA baru saja mempublikasikan hasil survei. Denny JA memastikan pilpres sudah selesai. Elektabilitas Jokowi-Maruf 58,7 persen, Prabowo-Sandi cuma 30,9 persen. Ada selesih 27,8 persen.
Direktur SMRC Jayadi Hanan mengatakan butuh keajaiban bagi Prabowo-Sandi untuk menang. Elektabilitas Jokowi-Maruf 57,6 persen, Prabowo-Sandi 31,8 persen.
“Angkanya melampaui 25 persen,” kata Jayadi.
Kalau benar seperti dikatakan SMRC dan LSI Denny JA harusnya tidak perlu lagi gerakan massif di daerah. Untuk apa. Kan sudah menang? Buang-buang tenaga dan uang saja. Lebih baik dananya disiapkan untuk merayakan kemenangan Jokowi.
Pasti ada-apa-apanya hingga Erick menyampaikan pernyataan semacam itu. Usut punya usut Erick tidak salah ucap. Dalam berbagai kesempatan Jokowi menyatakan secara terbuka kepada pendukungnya agar waspada. Elektabilitas mereka sedang turun. Jokowi malah menyebut di Jabar elektabilitasnya turun 8 persen.
Kita tentu lebih percaya Jokowi dibanding lembaga-lembaga survei. Tidak mungkin lah Jokowi melemahkan semangat para pendukungnya sendiri. Tidak mungkin lah dia buka rahasia. Pernyataan Jokowi adalah ekspresi kekhawatiran yang sangat dalam.
Kalau melihat manuver Jokowi maupun tim kampanyenya, tidak menunjukkan perilaku orang yang sudah menang perang. Yang muncul adalah perilaku orang yang putus asa dan kalap.
Kenaikan gaji ASN, TNI, dan Polri diobral. Bansos juga habis-habisan digelontorkan. Warga Jabar sampai basah kuyup karena digelontor Bansos dan CSR dari berbagai BUMN.
Pengerahan ASN dan Polri sangat terasa di lapangan. Ferry Mursidan Baldan Direktur Relawan BPN Prabowo-Sandi sampai berani menyimpulkan, ”yang kami hadapi di lapangan adalah aparat negara,” ujarnya.
Ferry benar. Jokowi dalam sebulan terakhir aktif bertemu kalangan milineal di berbagai kota besar di Indonesia. Kunjungannya difasilitasi oleh Polri melalui program “Milenial Road Safety Festival.” Foto-foto Jokowi tersebar di kota-kota besar di seluruh Indonesia sebagai ikon keselamatan berkendara.
Bersamaan dengan itu gerakan Prabowo-Sandi di lapangan banyak dihambat. Di Yogyakarta dan Bandung, Pidato Kebangsaan Prabowo harus berkali-kali pindah gedung. Pemilik gedung ditekan dan tidak berani menyewakan.
Ketika berkunjung ke Banten, Helikopter Prabowo juga dilarang Bupati Pandeglang mendarat di alun-alun milik Pemkab. Prabowo terpaksa memindahkan pendaratan di sebuah lapangan di Serang.
Konser solidaritas Ahmad Dhani di Surabaya tidak diberi izin polisi. Konser itu semula akan dihadiri Sandiaga Uno.
Dalam setiap kunjungan ke berbagai daerah baik Prabowo maupun Sandi disambut lautan manusia. Sebaliknya kampanye yang dihadiri Jokowi, apalagi Maruf Amin sepi. Yang dialami Maruf Amin lebih tragis lagi. Dia batal berkampanye karena hanya beberapa gelintir pendukungnya yang hadir.
Wajar kalau Erick Thohir menganggap hasil survei tidak penting. Itu hanya membuai dan menina-bobokkan mereka. Cara-cara lama menipu publik, tapi sudah tidak laku. Pilihannya sudah benar. Gerakan massif di bawah.
Pertanyaannya siapa yang akan digerakkan di bawah? Untuk hadir kampanye saja, rakyat sudah ogah. Apalagi kampanye, bergerak door to door. Tidak ada alasan cukup kuat yang bisa menggerakkan mereka.
Parpol dan para calegnya juga tengah fokus mencari selamat sendiri-sendiri. Kalau sampai Jokowi kalah dan mereka tidak terpilih menjadi anggota legislatif, bakal rugi dua kali.
Jalan satu-satunya bagi Jokowi adalah menggerakan aparat negara. Mulai dari ASN, Polisi, intelijen, dan TNI.
Tapi tunggu dulu. Apa mereka juga mau mempertaruhkan jabatan dan masa depannya untuk Jokowi?
Mereka tidak bisa menutup mata, ada arus besar yang tengah bergerak. Arus besar perubahan di tengah masyarakat yang menginginkan pergantian kepemimpinan nasional.
Dalam situasi seperti ini kita jadi teringat pada ucapan Presiden George W Bush Jr. ”Either with us. Or with enemy?!”
Mau tetap bersama Jokowi, atau bersama rakyat?