EKONOMI

NASIONAL

POLITIK

Jokowi Gagal Benahi Ekonomi Indonesia


JAKARTA - Dipimpin Jokowi selama 4 tahun lebih, ekonomi Indonesia hancur berantakan. Banyak perusahaan gulung tikar dan PHK ratusan ribu buruh terus berlanjut.


Selain itu neraca perdagangan 2018 juga babak belur dihantam defisit terbesar sepanjang sejarah, adalah bukti nyata kegagalan pemerintah Jokowi melakukan transformasi untuk menjadi bangsa yang lebih produktif.

Begitu dikatakan Wakil Ketua Fraksi PKS DPR bidang Ekonomi dan Keuangan, Ecky Awal Mucharam menanggapi rilis Badan Pusat Statistik terkait defisit neraca perdagangan 2018.

"Kita ingat di awal pemerintahan ini, Presiden berjanji untuk menjadikan kita bangsa yang produktif dan kompetitif. Namun sayang, neraca perdagangan kita sekarang mengalami defisit yang parah. Impor semakin ugal-ugalan dan kita gagal memperkuat basis-basis produksi," paparnya.

BPS telah melaporkan defisit neraca perdagangan sebesar 8,57 miliar dolar AS melampaui defisit pada 2013. Sebelumnya, defisit neraca perdagangan pada 2013 yang mencapai 4,08 miliar dolar AS yang kemudian mulai membaik pada 2014 dan kembali surplus pada 2015 hingga 2017.

Pada 2015, neraca perdagangan surplus 7,67 miliar dolar AS, lantas meningkat menjadi 9,48 miliar dolar AS pada 2016 dan 11,84 miliar dolar AS pada 2017.

Defisit terjadi karena kinerja ekspor sepanjang tahun lalu hanya mencapai 180,06 miliar dolar AS, sementara kinerja impor mencapai 188,63 miliar dolar AS.

"Kita melihat dari sisi pertumbuhan ekspor hanya tumbuh 6,65 persen sementara impornya melonjak hingga 20,15 persen. Kita melihat ini mengkhawatirkan karena impor tumbuh semakin besar," terangnya.

Ia mencermati beberapa impor sebenarnya tidak diperlukan karena semakin menekan produsen dalam negeri. Seperti impor beras dan gula yang justru memukul petani.

Ecky menekankan bahwa impor migas yang meningkat bukan hanya satu-satunya faktor yang menjadi musabab defisit tahun lalu. Di mana tercatat, defisit neraca migas mencapai 12,4 miliar. Tetapi menurutnya, yang juga bersifat fundamental adalah transaksi perdagangan nonmigas yang juga menurun drastis.

Hal ini terlihat dari surplus perdagangan nonmigas yang terjun 81,14 persen dari 20,4 miliar dolar AS pada 2017 menjadi 3,84 miliar dolar AS di tahun 2018 lalu.

"Defisit sektor migas relatif bisa dimaklumi karena kebutuhan yang meningkat dan kita sudah net importer untuk BBM. Tetapi merosotnya perdagangan nonmigas, karena impor yang semakin besar menunjukkan secara langsung kinerja pemerintah yang gagal mendorong ekspor dan mengurangi impor," tegasnya.

Industri manufaktur terus merosot dan deindustrialisasi semakin nyata. Sehingga untuk barang-barang konsumsi pun semakin bergantung dari impor.
"Ini sangat sangat memprihatinkan. Pemerintah gagal membangun bangsa lebih produktif dan berdaya saing sebagaiman dijanjikan," kritiknya.

Ecky juga menekankan pernyataan Bappenas bahwa saat ini Indonesia tengah mengalami deindustrialisasi prematur. Hal ini terjadi karena porsi manufaktur di dalam PDB semakin menurun sebelum benar-benar mencapai puncaknya.

Indonesia pernah disebut sebagai kandidat negara industri baru karena porsi manufaktur dalam PDB hampir mencapai 30 persen. Namun faktanya,ia menilai kontribusi industri tersebut kini kian menyusut.

Data BPS kuartal III 2018 bahkan menunjukkan porsi industri manufaktur tercatat sebesar 19,66 persen terhadap PDB.

Ia mencatat, pertumbuhan industri manufaktur hanya 4,33 persen atau lebih rendah dibanding pertumbuhan ekonomi 5,17 persen. Pada 2017, pertumbuhan ekonomi adalah 5,07 persen sementara sektor industri di bawah 5 persen.

"Neraca perdagangan yang terus digerogoti defisit, jika diikuti defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang besar, akan membuat rapuh sendi-sendi perekonomian bangsa," terangnya.

Ecky mengingatkan, akibat defisit perdagangan dan CAD yang terus membesar, negara-negara emerging markets seperti Turki, Argentina, dan Afrika Selatan diterjang gejolak ekonomi dan krisis nilai tukar.

"Jadi ini soal yang sangat serius. Kita benar-benar membutuhkan kepemimpinan yang bisa mendorong transformasi struktural sehingga basis-basis produksi kita semakin kuat, produktif  dan berdaya saing global," pungkasnya.


sumber : rmol