BATAM - Pengadilan Negeri Batam kembali menggelar sidang perkara dugaan tindak pidana penipuan atau penggelapan dan pemalsuan surat di PT.Bangun Megah Semesta(BMS) dengan terdakwa Tjipta Fudjiarta, Selasa (28/8/2018) pagi.
Setelah mendengarkan keterangan terdakwa Tjipta Fudjiarta, Ketua Majelis Hakim Tumpal Sagala sempat berdebat dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Filpan Fajar D Laia terkait jadwal persidangan berikutnya.
Perdebatan berawal ketika Majelis Hakim menanyakan kepada penasehat hukum terdakwa terkait jadwal pemeriksaan saksi A de Charge(meringankan).
"Kami minta waktu 1 minggu Yang Mulia," kata Hendie Devitra selaku penasehat hukum terdakwa.
Permintaan PH tersebut kemudian ditanggapi Majelis Hakim dengan mengatakan tidak bisa. "Tidak bisa, besok! kita ini sudah lewat 6 bulan(persidangan)," kata Majelis Hakim.
Hendie kemudian meminta kepada Majelis Hakim agar memberikan kesempatan yang sama kepada penasehat hukum seperti dengan JPU untuk menghadirkan saksi-saksi di persidangan.
"Yang Mulia, kami ingin diberikan kesempatan yang sama dengan JPU, kami kan baru sekali ini beri keterangan (saksi). Hari ini(Selasa) kan baru selesai pemeriksaan terdakwa, kami akan usahakan minimal di hari Jumat Yang Mulia," kata Hendie.
Majelis Hakim kemudian menawarkan jadwal sidang tuntutan, pledoi, replik dan duplik. Tapi lagi-lagi penasehat hukum menyatakan keberatan.
"Kami keberatan kalau Pledoi 3 hari yang mulia," ujar Hendie.
Majelis Hakim kemudian menyampaikan bahwa tuntutan juga diberikan waktu selama 3 hari. JPU juga menyatakan keberatan. "Kami mohon 1 minggu Yang Mulia(tuntutan)," kata JPU.
Majelis Hakim kemudian menanyakan kembali kepada JPU terkait jadwal tuntutan.
"Kami mohon kebijaksanaan Yang Mulia, bagaimanapun fakta keterangan terdakwa baru kita dengar hari ini dan belum kita lihat keterangan A de Charge, tentu kami masukkan dalam tuntutan kami. Kalau dibatasi begini kami mohon kebijakannya Yang Mulia," ujar JPU Filpan Fajar D Laila.
Majelis Hakim menanggapi permintaan JPU tersebut dengan mengatakan bahwa selama ini justru penuntut umum yang banyak mengulur-ulur saksi.
"Kami keberatan Yang Mulia, kita bisa lihat recordnya. Kami sudah pernah datangkan ahli 3 orang tapi yang diperiksa cuma 1, diperiksa siang ada juga," kata Filpan.
Atas penjelasan JPU tersebut, Majelis Hakim langsung mengetuk palu dan meminta JPU tidak menyampaikan alasan seperti itu.
"Kami minta kebijakan Yang Mulia, kami ingin juga dipercepat, tapi jangan juga kami kami seminggu. Kami akan siap Yang Mulia," ujar Filpan.
Setelah mendengarkan keberatan dari penasehat hukum terdakwa dan JPU, Majelis Hakim akhirnya memutuskan jadwal sidang berikutnya yakni agenda mendengarkan saksi A de Charge (meringankan) di tanggal 31 Agustus 2018, saksi ahli meringankan di tanggal 3 September, tuntutan 7 september, Pledoi 12 september, Replik 14 September. Duplik 17 September dan putusan antara tanggal 19 atau 20 September.
Sebelumnya terdakwa Tjipta Fudjiarta telah memberikan keterangan dipersidangan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Tumpal Sagala didampingi Hakim Anggota Taufik dan Yona Lamerossa Ketaren, Selasa (28/8/2018) pagi.
Dalam keterangannya terdakwa menjelaskan kronologis awal pertemuannya dengan Conti Chandra pada tanggal 24 Juli 2011 di Medan.
"Dia (Conti,red) datang jumpai saya ke Medan bersama isterinya. Conti mau menawarkan saham empat teman kongsinya (PT.BMS)," ujar terdakwa menjawab pertanyaan Jaksa Penunut Umum (JPU)
Terdakwa mengatakan bahwa pada saat pertemuan di Medan tersebut, Conti Chandra menunjukkan sebuah surat tertanggal 22 Juli 2011, akta Nomor 10 tanggal 7 Juli 2011 (Conti akan mengambil alih saham pemegang saham lama) dan akte Nomor 70 tanggal 19 Juli 2011(Conti tidak dapat investor).
"(Setelah ditawarkan), saya mengatakan ke dia (Conti) akan mempejari dulu surat tersebut," jelasnya.
Selanjutnya kata terdakwa, Conti Chandra berjanji akan mengirimkan harga penawaran saham setelah kembali ke Batam. "Tanggal 25 Conti kirim harga penawaran melalui fax,"ujarnya.
Terdakwa mengaku sempat mempertanyakan surat penawaran harga saham tersebut kepada Conti Chandra karena hanya 2 dari 4 pemegang saham yang tandatangan.
"Nanti di RUPS (Akta 89) itu semuanya (pemegang saham) akan setuju. Nanti akan dicantumkan harga sahamnya dan syarat-syarat pembayaran," kata terdakwa menirukan jawaban Conti Chandra saat itu.
Atas penawaran harga saham tersebut, terdakwa kemudian setuju membeli 203 saham senilai Rp 27.457.000.000 sesuai dengan penawaran harga saham sebelumnya dan selanjutnya dituangkan dalam akta 89. Dalam akta 89 tersebut dituangkan syarat pembayaran, harga per lembar saham senilai Rp 135.700.000, para pihak yang akan menjual saham berjanji untuk mengikatkan diri untuk pelepasan saham apabila Conti Chandra sudah dapat pendamping.
"Selanjutnya saya mentransfer uang 5 kali dengan total Rp 27.457.000.000 sesuai dengan akta 89," jelasnya.
Selain itu terdakwa juga mengaku pernah mentransfer uang sebesar Rp 2 Miliar kepada Conti Chandra untuk membayar kredit macet di Bank Panin.
"Saya diharuskan menambah Rp 2 Miliar untuk membayar Bank Panin yang sudah terjadi kredit mecet," jelasnya.
Terdakwa juga mengaku saat ini memiliki saham 1093 lembar atau 87,5 persen di PT.BMS. “Setelah 4 pemegang saham jual ke saya sebanyak 72,5 persen, 9 bulan kemudian setelah 2 Desember 2011, dia (Conti) menawarkan lagi 15 persen saham senilai Rp 10,5 Miliar,” kata terdakwa.
Atas pembelian saham-saham tersebut, terdakwa mengaku sudah mengeluarkan dana sekitar Rp 40 Miliar dengan kepemilikan saham sebanyak 87,5 persen. Sedangkan Conti Chandra masih memiliki saham sebesar 12,5 persen.
“Dari Rp 182 Miliar(harga apraisal), kita ada utang di Bank Rp 70 Miliar, ada penjualan apartemen senilai Rp 60 Miliar,” jelasnya. Terdakwa mengatakan bahwa hingga bulam Mei 2013 Conti Chandra masih menjabat sebagai Direktur di PT.BMS.
Terkait pembuatan akta 98, terdakwa menjelaskan bahwa itu disebabkan adanya permasalahan internal para pemegang saham lama. Salah satu pemegang saham lama (Andreas Sie) menggugat Conti Chandra untuk membatalkan akta 89.
"Saya keberatan, sebab saya sudah membayar (harga saham) dan sudah diterima oleh pemegang saham yang menjual. Conti mengatakan kepada saya, akan membuat lagi satu akta(akta 99) untuk mengikatkan diri mereka(pemegang saham lama) untuk akta jual beli," jelasnya.
Menurut terdakwa, setelah pembayaran (harga saham) lunas pada tanggal 5 oktober 2011, dia meminta Conti Chandra untuk membuat Akta Jual Beli (AJB) di notaris.
"Tanggal 11 Novemer 2011 Bank Panin memberikan jawaban dan menyetujui adanya perubahan komposisi permodalan, susunan pemegang saham dan susunan pengurus(PT.BMS)," ujarnya.
Setelah persetujuan dari Bank Panin tersebut, selanjutnya Conti Chandra membuat undangan RUPS tanggal 17 November 2011 dengan agenda perubahan pemegang saham dan perubahan pengurus perseroan di Kantor Notaris Anly Cenggana.
"Saya diundang sebagai undangan rapat. Saya hadir, kita sudah rapat waktu itu, tapi berhubung satu pemegang saham tidak hadir (Andreas Sie), Notaris tidak berkenan membuat akta dengan alasan undangan Conti Chandra melanggar Anggaran Dasar PT.BMS," ucapnya.
Selanjutnya kata terdakwa, Conti Chandra membuat lagi undangan untuk RUPS tanggal 2 Desember 2011 dengan keputusan menyetujui pengunduran diri pemegang saham lama(akta No 2)
"Setelah mereka menyetujui menjual saham ke saya, langsung diteruskan membuat AJB(akta 3,4,5)," jelasnya.
Penasehat Hukum terdakwa, Hendie Devitra didampingi Sabri Hamri menanyakan kepada terdakwa apa yang sebenarnya terjadi sehingga Conti Chandra keluar, tidak setuju diganti(Direktur), tidak mau datang lagi ke PT dan tidak mau ikut RUPS hingga buat laporan.
"Kejadiannya berawal saat dia(Conti) mengatakan mau mengundurkan diri (Direktur) dan saya mengangkat Winston sebagai Direktur. Kemudian Conti Chandra mau menjual lagi saham 12,5 persen, tapi saya keberatan membeli. Dia mau jual sisa saham 12,5 persen dengan harga 1 persen Rp 3 Miliar, berarti dengan saham 12,5 persen mau jual Rp 37,5 Miliar," terangnya.
"Waktu saya tidak mau beli baru jadi masalah, awalnya baik-baik saja," lanjutnya. ***