[caption id="attachment_7177" align="alignleft" width="290"] Inilah PL milik PT PBE yang dimainkan oleh oknum BP Batam. foto: alfie syahrie/kepriupdate[/caption]
BATAM - Sengketa lahan PT Perambah Batam Expresco (PBE) terus bergulir bak bola panas. Ditemukan fakta baru terkait PT Cunghi Kaya Jaya yang telah menyetor uang muka Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) BP Batam sebesar 10 persen, justru dipertanyakan.
"Masa WTO 30 tahun yang sudah kita bayar bisa 'kalah' dengan uang muka 10 persen. Hebat kali BP Batam itu," kata Direktur PT PBE Ir Surya Sugiharto Nugroho kepada kepriupdate.com, Kamis (20/10/2015).
Dikatakan, fakta pembayaran uang muka 10 persen oleh PT Cunghi Kaya Jaya diperoleh dari sumber yang layak dipercaya di BP Batam. Bahkan, kata Surya sket lahan nya pun ada.
"Kita sudah tracking (lacak) di BP Batam, memang benar PT Cunghi Kaya Jaya telah membayar uang muka 10 persen. Sementara kita yang sudah membayar WTO 30 tahun dan telah memiliki legalitas hukum yang kuat kok malah 'kalah' dengan uang muka 10 persen, ada apa dibalik ini?," ungkap Surya heran.
Lebih mengejutkan lagi, PT Cunghi Kaya Jaya mau memperjualbelikan lahan yang tadinya dialokasikan untuk PT PBE di Kabil itu ke pihaknya seharga 50 dollar Singapura permeter.
"Kita kaget sekali, kok lahan yang sudah dialokasikan ke kita, malah mau dijual PT Cunghi Kaya Jaya lagi ke PT PBE," jelas Surya sambil menggelengkan kepala.
"Kita coba pancing dengan menawar, "bisa kurang gak?" "Paling kurang satu dollar lah, soalnya kita kan mau kasih juga sama orang dalam," ujar Surya menirukan ucapan orang (pihak Cunghi Kaya Jaya).
Dari fakta tersebut, papar Surya, jelas sekali ada permainan yang sangat rapih dan sistematis oleh oknum pejabat BP Batam terutama di bagian pengalokasian lahan yang diduga kuat dimotori Istono, Nanang Hardiwibowo, serta Tony Febri.
"Tiga orang inilah kita duga yang 'memainkan' lahan kita sehingga bergeser dari rencana awal. Jelas kita sangat dirugikan baik secara materil maupun in-materil," kata Surya geram.
Terpisah, ketika diminta tanggapannya, praktisi hukum Bistok Nadeak SH merasa heran melihat kasus ini. Setelah membolak-balik berkas yang ditunjukkan PT PBE kepada dirinya, apalagi sudah beberapa kali membayar uang muka dilahan yang sama, Bistok menyarankan PT PBE menempuh jalur hukum lewat PTUN.
"Saya pikir itu langkah yang mungkin bisa dilakukan dengan disertai alat bukti yang valid. Namun, sebelum itu buat dulu surat penolakan pengalokasian lahan yang tidak sesuai dengan rencana awal ke BP Batam," saran Bistok.
Kisruh lahan ini berawal dari tahun 2005, ketika Ismeth Abdullah menjabat kepala Badan Otorita Batam, PT PBE mendapat alokasi lahan di kawasan Sungai Panas seluas kurang lebih 4 hektare. Toni Febry yang ketika itu masih staf biasa (bawahan Harlas) menjadi saksi turun ke lapangan melakukan pengukuran luas lahan.
Selanjutnya, PT PBE membayar uang muka WTO (Wajib Tahunan Ortorita) sebesar Rp 159 juta dengan no faktur:136/fuh-PL/IV/2005 yang disetorkan ke rekening no 10910011362.
Kemudian pada tahun 2013 PT PBE membayar lagi uang muka sebesar Rp101.500.000 dengan no faktur A.0069051304 tanggal 13 Juni 2013 dengan validasi nomor 10908-1090851-1090801-11309-12/06/2013. Dan terakhir faktur nomor .0003061502 tanggal 5 Juni 2015 sejumlah Rp 101.500.000 dengan nomor validasi 10908 109085/06/2015.
Namun, muncul masalah. Lahan tersebut tidak bisa dieksekusi lantaran diklaim oleh masyarakat tempatan sebagai kampung tua. Akhirnya, PT PBE di tahun 2005 mengajukan permohonan pengganti lahan di lokasi Kabil seluas 7 hektare yang sudah ditandatangani Benyamin Balukh, dan Kasubdit nya waktu itu Baskoro, serta orang hukumnya Ahmad Dahlan. Namun, karena terkendala hutan lindung, pihak OB menunda dengan alasan terbentur dengan RT/RW. PT PBE pun diminta bersabar.
Seiring perjalanan waktu, akhirnya BP Batam mengabulkan permohonan lahan pengganti yang berlokasi di Kabil tersebut. Namun setelah dibayar WTO 30 tahun, IP (Izin Prinsip) yang diteken Kepala BP Batam Mustafa Wijaya bernomor 100/IP/KA/8/2015 tanggal 6 Agustus 2015 seluas 18 ribu meter persegi dan IP Nomor 101/IP/KA/8/2015 seluas 35 meter persegi total 5,3 Ha, ternyata setelah bayar WTO 30 tahun, lokasi lahan bergeser, tidak sesuai rencana awal.
Sementara lahan yang menurut bagian perencanaan BP Batam, memang sudah di plot untuk PT PBE, justru diberikan kepada pihak lain, dalam hal ini PT Cunghi Kaya Jaya, yang diduga kuat pemiliknya bernama Ahi. Dijelaskan Surya, untuk lahan seluas 1,8 Ha, faktur uang muka dibayar dua kali oleh PT PBE. Pertama No Faktur A.0071051305, tanggal 31 Mei 2013, sebesar Rp 52.200.000. Yang kedua, No faktur D.0024081502, tanggal 14 Agustus 2015 sebesar Rp 13 juta.
Kemudian tagihan WTO sebesar Rp310.388.210,- yang dibayarkan pada tanggal 19 Agustus 2015. Sementara untuk lahan seluas 3,5 ha, pembayaran uang muka WTO sebanyak tiga kali. (alfie syahrie)