[caption id="attachment_1811" align="alignright" width="290"] Jokowi[/caption]
BATAM - Waspadai Amerika di balik pencapresan Jokowi, sengaja kepriupdate.com angkat sebagai editorial pekan ini. Kegelisahan rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke terhadap pimpinannya di pusat, seakan terus menjadi dan akan sangat sulit dibenahi.
Berkaca dari kepemimpinan Soekerno (Orde Lama), Soeharto (Orde Baru) hingga Susilo Bambang Yudhoyono (Reformasi), Indonesia seakan sulit menghindari 'setiran' negeri adidaya Amerika. Hal tersebut tak terlepas dari kepentingan Paman Sam yang super besar pada sumber daya alam (SDA) yang melimpah di negeri cincin api ini.
Kita masih ingat pada Soekarno, saat itu dengan wibawa nasionalismenya yang berapi-api, luluh lantak ketika disodori kontrak karya Free Fort di Irian Jaya yang kini berganti nama Papua. Kejumawaan Soerkarno pupus, mana kala dia dianggap Amerika akan melirik China.
Soeharto yang sangat diagung-agungkan ketika memimpin era otoriter Orde Baru, lumpuh dan diturunkan mahasiswa saat krisis ekonomi 1997 melanda dunia, yang diskenariokan oleh George Soros, spekulan saham keturuan Yahudi. Ketika itu Soeharto mulai juga berkiblat pada RRC.
Kepemimpinan SBY selama satu dekade terakhir ini juga tidak terlepas campur tangan Amerika dan sekutunya di Indonesia. Bertapa tidak, saat menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu yang berhaluan Tiongkok sangat mesra berhubungan dagang dengan negeri Tirai Bambu itu, gejolak demi gejolak politik negeri ini terus digaungkan.
Tetapi SBY pintar dalam membaca peta politik yang dimainkan Amerika. Di periode lima tahun keduanya, tukar guling kursi Mendag dari Mari Elka Pangestu ke Gita Wirjawan yang pro Amerika dilakukan. Tetapi tetap saja Indonesia masih tidak dapat 'berdaulat' secara penuh dari cengkraman negeri superior tersebut. Karut marut hukum dan politik 'dipersiapkan' mulai dari kasus Centrury hingga kasus Hambalang yang menyandera pemerintahan.
Kini masyarakat Indonesia yang heterogen terdiri dari ribuan suku dan bahasa kembali dihadapkan pada persoalan yang serupa. Jokowi, capres asal PDIP memang kini sedang meroket jauh melewati lawan-lawannya. Hasil berbagai survei membuktikan bahwa elektabilitas mantan Walikota Solo tersebut memimpin. Tetapi kita jangan sampai latah dalam menilainya, sebab sejatinya Indonesia belumlah berdaulat penuh.
Sinyalemen Gerindra yang terus melontarkan berbagai sindiran terhadap Jokowi dan Megawati, tentu tidak pula kita hujat. Jangan sampai kesalahan serupa ketika SBY yang digambarkan seolah 'terdzolimi' oleh PDIP ketika almarhum Taufik Kiemas, melejit namanya di percaturan politik.
Kita tak ingin pemimpin kita terus-terusan seperti demikian. Mengharap belas kasihan, empati dari rakyat yang terbutakan. Peran Amerika dalam 'skenario' memojokkan Jokowi ada baiknya kita telaah dan kita waspadai, agar jangan sampai kita memilih pemimpin hanya dari casingnya seperti yang sudah-sudah. (redaksi)